MAKALAH
Kelas :
Eksekutif A
2014
Nama :
M. Arib Herzi
S.
Nim :
2014.201.00013
SEKOLAH TINGGI
MANAJEMEN ILMU KOMPUTER
SENTRA PENDIDIKAN
BISNIS AIRLANGGA
YAYASAN AIRLANGGA
SAMARINDA
2014/2015
Kata
pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada
Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan karunianya sehingga kami dapat
menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya. Di dalam makalah ini terdapat
penjelasan tentang peran
pancasila dalam rangka membendung/mencegah radikalisme dibidang agama, politik,
sosial, dan pertahanan keamanan dikalangan pemuda, dengan
itu diharapkan para pembaca dapat memahami dan dapat menjadikan makalah ini
sebagai pedoman.
Semoga kami dapat
memberikan sedikit pengetahuan. Dan kami berharap seluruh generasi muda
Indonesia menjadi penerus bangsa yang berwawasan luas dan siap bersaing di
negara lain. Dan makalah ini dapat selesai sesuai dengan rencana berkat bantuan
dari semua pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak
terima kasih kepada pihak-pihak yang telah terlibat secara langsung maupun
tidak secara langsung sehingga makalah ini dapat terselesaikan tepat waktu.
Tidak lupa saran dan
kritik yang bersifat membangun agar pekerjaan yang kami buat dapat diubah
sebagaimana mestinya. Serta pembaca yang budiman sangat kami harapkan melalui
situs internet kami :
Email :
Samarinda, April 2015
Penulis
DAFTAR ISI
BAB I Pendahuluan
a.
Latar Belakang........................................................................................................ I
b.
Rumusan Masalah................................................................................................. II
c.
Tujuan...................................................................................................................... III
d.
Manfaat.................................................................................................................... IV
BAB II Tinjauan Teori
Makna Radikalisme............................................................................................................ V
BAB III Pembahasan
a.
Pengertian Radikalisme........................................................................................ VI
b.
Kemunculan Radikalisme.................................................................................... VII
c.
Fakta-Fakta Aksi Kekerasan dan Implikasinya Dalam Masyrakat................. VIII
d.
Peran Idiologi Pancasila Untuk membentengi diri dari Radikalisme............ IX
e.
Menbentengi Pemuda dari Radikalisme............................................................ X
BAB IV Penutup
a.
Kesimpulan............................................................................................................. XI
b.
Saran........................................................................................................................ XII
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................... XIII
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Kita mengenal Indonesia sebagai negara
pluralis, di mana kemajemukan hadir dan berkembang di dalamnya. Sebut saja,
suku, ras, budaya, bahkan agama. Kemajemukan yang terjadi di Indonesia pun
tidak terlepas dari kemajuan di berbagai bidang ilmu yang menyentuh berbagai
sendi kehidupan masyarakat Indonesia. Kemajemukan itu telah membawa akibat
yaitu adanya perjumpaan yang semakin intensif antar kelompokkelompok manusia.
Salah satunya adalah pergesekan yang seringkali terjadi di antara agama-agama
yang berbeda. Ketika keyakinan terhadap suatu agama itu cenderung dimutlakkan
maka akan sangat berpotensi pada timbulnya pergesekan atau ketegangan. Apabila
hal itu tidak segera diatasi maka semakin lama akan terjadi benturan yang mengakibatkan
terpecah belahnya serta perusakan-perusakan kehidupan manusia serta mengancam
kemajemukan yang telah ada. Ketika memfokuskan pada agama, maka sesungguhnya
ada fenomena yang menarik dalam hubungan antar umat beragama di Indonesia.
Fenomena menarik karena sebagian besar masyarakat Indonesia senantiasa
mengkondisikan dirinya dalam hubungan mayoritas-minoritas, apalagi ketika hal
itu dikaitkan dengan urusan agama. Hal itu sudah terbukti dalam sejarah
perjalanan bangsa yang panjang serta pengalaman-pengalaman konkrit yang hadir
dalam realitas masyarakat Indonesia. Realitas itu nampak kembali
melalui peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang
kini tengah dihadapi oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Meningkatnya
radikalisme dalam agama di Indonesia menjadi fenomena sekaligus bukti nyata
yang tidak bisa begitu saja diabaikan ataupun dihilangkan. Radikalisme
keagamaan yang semakin meningkat di Indonesia ini ditandai dengan berbagai aksi
kekerasan dan teror. Aksi tersebut telah menyedot banyak potensi dan energi
kemanusiaan serta telah merenggut hak hidup orang banyak termasuk orang yang sama
sekali tidak mengerti mengenai permasalahan ini. Meski berbagai seminar dan dialog
telah digelar untuk mengupas persoalan ini yaitu mulai dari pencarian sebab
hingga sampai pada penawaran solusi, namun tidak juga kunjung memperlihatkan
adanya suatu
titik terang. Fenomena tindak radikalisme
dalam agama memang bisa dipahami secara beragam, namun secara esensial,
radikalisme agama umumnya memang selalu dikaitkan dengan pertentangan secara
tajam antara nilai-nilai yang diperjuangkan kelompok agama tertentu dengan
tatanan nilai yang berlaku atau dipandang mapan pada saat itu. Dengan demikian,
adanya pertentangan, pergesekan ataupun ketegangan, pada akhirnya menyebabkan
konsep dari radikalisme selalu saja dikonotasikan dengan kekerasan fisik. Apalagi
realitas yang saat ini telah terjadi dalam kehidupan masyarakat Indonesia
sangat
mendukung
dan semakin memperkuat munculnya pemahaman seperti itu.
A. Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah di atas maka kami merumuskan beberapa pokok permasalahan sebagai berikut :
·
Menelaah
kembali makna radikalisme.
·
Mengetahui
cara pencegahan radikalisme di kalangan muda
·
Kemunculan
radikalisme dan factor-faktor multidemonsional yang mengintegrasi dengan aksi
kekerasan
·
Seberapa
penting pengetahuan tentang radikalisme
B. Tujuan
Tujuan
kami menyusun makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Pendidikan
Pancasila, dan juga untuk berbagi pengetahuan tentang betapa pentingnya mengetahui
dan mencegah radikalisme di kalangan anak muda.
C. Manfaat
Melalui makalah ini kami
mengharapkan pembaca:
·
Dapat memahami arti
radikalisme.
·
Memahami pengertian dan dapat mencegah
radikalisme.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
Makna Radikalisme
Kata
radikalisme ditinjau dari segi terminologis berasal dari kata dasar radix yang
artinya akar (pohon). Bahkan anak-anak sekolah menengah lanjutan pun sudah
mengetahuinya dalam pelajaran biologi. Makna kata tersebut, dapat diperluas
kembali, berarti pegangan yang kuat, keyakinan, pencipta perdamaian dan
ketenteraman, dan makna-makna lainnya. Kata ini dapatdikembangkan menjadi kata
radikal, yang berarti lebih adjektif. Hingga dapat dipahami secara kilat, bahwa orang yang
berpikir radikal pasti memiliki pemahaman secara lebih detail dan mendalam,
layaknya akar tadi, serta keteguhan dalam mempertahankan kepercayaannya. Memang
terkesan tidak umum, hal inilah yang menimbulkan
kesan menyimpang di masyarakat. Setelah itu, penambahan sufiks –isme sendirri
memberikan makna tentang pandangan hidup (paradigma), sebuah faham, dan
keyakinan atau ajaran. Penggunaannya juga sering disambungkan dengan suatu
aliran atau kepercayaan tertentu.
Ketua
umum Dewan Masjid Indonesia, Dr. dr. KH. Tarmidzi Taher memberikan komentarnya
tentang radikalisme bemakna positif, yang memiliki makna tajdid (pembaharuan)
dan islah (peerbaikan), suatu spirit perubahan menuju kebaikan. Hingga dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara para pemikir radikal sebagai seorang
pendukung reformasi jangka panjang.
Dari
sini, dapat dikembangkan telisik makna radikalissme, yaitu pandangan / cara
berfikir seseorang yang menginginkan peningkatan mutu, perbaikan, dan
perdamaian lingkungan multidimensional, hingga semua lapisan masyarakatnya
dapat hidup rukun dan tenteram.
Namun
demikian, dalam perkembangannya pemahaman terhadap radikalisme itu sendiri
mengalami pemelencengan makna, karena minimnya sudut pandang yang digunakan,
masyarakat umum hanya menyoroti apa yang kelompok-kelompok radikal lakukan
(dalam hal ini praktek kekerasan), dan tidak pernah berusaha mencari apa yang
sebenarnya mereka cari (perbaikan). Hal serupapun dilakukan oleh pihak
pemerintah, hingga praktis pendiskriminasian terhadap paham yang satu ini tak
dapat dielakkan.
BAB
III
PEMBAHASAN
A. Pengertian Radikalisme
Radikalisme dalam artian bahasa
berarti paham atau aliran yang mengingikan perubahan atau pembaharuan social
dan politikdengan cara kekerasan atau drastis. Namun, dalam artian lain, esensi
radikalisme adalah konsep sikap jiwa dalam mengusung perubahan. Sementara
itu radikalisme menurut pengertian lain adalah inti dari perubahan itu
cenderung menggunakan kekerasan.
Yang dimaksud dengan radikalisme
adalah gerakan yang berpandangan kolot dan sering menggunakan kekerasan dalam
mengajarkan keyakinan mereka. Sementara Islam merupakan agama kedamaian yang
mengajarkan sikap berdamai dan mencari perdamaian. Islam tidak pernah
membenarkan praktek penggunaan
kekerasan dalam menyebarkan agama, paham keagamaan serta
paham politik.
Dawinsha mengemukakan defenisi
radikalisme menyamakannya dengan teroris.Tapi ia sendiri memakai radikalisme
dengan membedakan antara keduanya. Radikalisme adalah kebijakan dan terorisme
bagian dari kebijakan radikal tersebut. defenisi Dawinsha lebih nyata bahwa
radiklisme itu mengandung sikap jiwa yang membawa kepada tindakan yang
bertujuan melemahkan dan mengubah tatanan kemapanan dan menggantinya dengan
gagasan baru.
Makna yang terakhir ini, radikalisme
adalah sebagai pemahaman negatif dan bahkan bisa menjadi berbahaya sebagai
ekstrim kiri atau kanan.
B. Kemunculan
Radikalisme
Kata radikal itu sendiri berasal dari bahasa latin radix
yang berarti akar(pohon) Dan fundamentalisme
bermakna dasar dan inti, fundamentalisme islam dengan demikian adalah dasar dan
inti ajaran islam. Gerakan ini dapat berada di wilayah akademik, politis,
bahkan ekonomis. Fundamentalis dengan radikal memang saling berkaitan, keduanya memiliki kesamaan
arti yang sama-sama bermakna inti, kelompok radikalisme muncul dengan di
landasipaham fundamentalis.
Sesungguhnya, sejarah munculnya fundamentalisme apabila
di lacak secara akademis baru tumbuh sekitar abad ke-19 dan terus mengemuka
sampai sekarang. Dalam tradisi barat sekuler hal ini di tandai keberhasilan
industrialisasi pada hal-hal positive di satu sisi tetapi negative disisi yang
lain. Apa yang negative, yaitu munculnya perasaan kekosongan jiwa, kemurungan
hati, kehampaan, dan ketidakstabilan perasaan. Iwan gunawan menyebutkan zaman
fundamentalisme dengan istilah zaman ironi, dimana sikap yang di tonjolkan
adalah sedih melihat teman senang dan merasa senang melihat teman sedih.
Sesungguhnya,
sejarah kemunculan gerakan radikalisme dan kelahiran kelompok fundamentalisme
dalam islam lebih di rujuk karena dua factor, yaitu:
1. Faktor internal
Faktor
internal adalah adanya legitimasi Teks keagamaan, dalam melakukan “perlawanan”
itu sering kali menggunakan legitimasi teks (baik teks keagamaan maupun teks
“cultural”) sebagai penopangnya. untuk kasus gerakan “ekstrimisme islam” yang
merebak hampir di seluruh kawasan islam(termasuk indonesia) juga menggunakan
teks-teks keislaman (Alquran, hadits dan classical
sources- kitab kuning) sebagai basis legitimasi teologis, karena memang
teks tersebut secara tekstual ada yang mendukung terhadap sikap-sikap eksklusivisme
dan ekstrimisme ini. Seperti ayat-ayat yang menunjukkan perintah
untuk berperang seperti; Perangilah
orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya
dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang)
yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk. (Q.S.
Attaubah: 29)
menurut
gerakan radikalisme hal ini
adalah sebagai pelopor bentuk tindak kekerasan dengan dalih menjalankan
syari’at , bentuk memerangi kepada orang-orang yang tidak beriman kepada Allah
dan lain sebagainya. Tidak sebatas itu, kelompok fundamentalis dengan bentuk
radikal juga sering kali menafsirkan teks-teks keislaman menurut “cita rasa”
merka sendiri tanpa memperhatikan kontekstualisasi
dan aspek aspek historisitas dari teks itu, akibatnya banyak fatwa yang
bertentangan dengan hak-hak
kemanusiaan yang Universal dan bertentangan dengan emansipatoris islam sebagai agama pembebas manusia
dari belenggu hegemoni. Teks-teks keislaman yang sering kali di tafsirkan
secara bias itu adalah tentang perbudakan, status non muslim dan
kedudukan perempuan.
Faktor
internal lainnya adalah dikarenakan gerakan ini mengalami frustasi yang
mendalam karena belum mampu mewujudkan cita-cita berdirinya ”negara islam
internasional” sehingga
pelampiasannya dengan cara anarkis; mengebom fasilitas publik dan terorisme.
Harus
diakui bahwa salah satu penyebab gerakan radikalisme adalah faktor sentimen
keagamaan, termasuk di dalamnya adalah solidaritas keagamaan untuk kawan yang
tertindas oleh kekuatan tertentu. Tetapi hal ini lebih tepat dikatakan sebagai
faktor emosi keagamaannya, dan bukan agama (wahyu suci yang absolut). Hal ini
terjadi pada peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh negara Israel terhadap
palestina, kejadian ini memicu adanya sikap radikal di kalangan umat islam
terhadap Israel, yani menginginkan agar negara Israel diisolasi agar tidak dapat
beroperasi dalam hal ekspor impor.
2. Faktor eksternal
Faktor
eksternal terdiri dari
beberapa sebab di antaranya : pertama, dari aspek ekonomi-politik, kekuasaan
depostik pemerintah yang menyeleweng dari nilai-nilai fundamental islam. Itu artinya,
rejim di negara-negara islam gagal menjalankan nilai-nilai idealistik islam.
Rejim-rejim itu bukan
menjadi pelayan rakyat, sebaliknya berkuasa dengan sewenang-wenang bahkan
menyengsarakan rakyat. penjajahan
Barat yang serakah, menghancurkan serta sekuler justru datang belakangan,
terutama setelah ide kapitalisme global dan neokapitalisme menjadi pemenang.
Satu
ideologi yang kemudian mencari daerah jajahan untuk dijadikan “pasar baru”.
industrialisasi dan ekonomisasi pasar baru yang dijalankan dengan cara-cara
berperang inilah yang sekarang mengejawantah hingga melanggengkan kehadiran
fundamentalisme islam. Karena itu, fundamentalisme dalam islam bukan lahir
karena romantisme tanah (seperti Yahudi), romantisme teks (seperti kaum
bibliolatery), maupun melawan industrialisasi (seperti kristen eropa).
Selebihnya, ia hadir karena kesadaran akan pentingnya realisasi pesan-pesan
idealistik islam yang tak dijalankan oleh para rejim-rejim penguasa dan baru
berkelindan dengan faktor-faktor eksternal yaitu ketidakadilan global.
Kedua,
faktor budaya, faktor ini menekankan pada budaya barat yang mendominasi
kehidupan saat ini, budaya sekularisme yang dianggap sebagai musuh besar yang
harus dihilangkan dari bumi.
Ketiga,
faktor sosial politik, pemerintah yang kurang tegas dalam mengendalikan masalah
teroris ini juga dapat dijadikan sebagai salah satu faktor masih maraknya
radikalisme di kalangan umat islam.
C. Fakta-fakta aksi
kekerasan dan implikasinya dalam masyarakat
Berbicara tentang radikalisme, lebih-lebih
fundamentalisme, tak mungkin menafikan adanya aksi-aksi yang memang berasaskan
kekerasan, pemankasaan, bahkan pembinasaan. Salah satunya adalah Pemboman-pemboman yang dilakukan di
Paris oleh kelompok-kelompok Islam Aljazair seperti pegawai islam bersenjata
telah memperburuk ketegangan-ketegangan di Prancis dan menambah jumlah dukungan
untuk mereka yang mempersoalkan apakah islam sesuai dengan budaya Prancis,
entah itu budaya yahudi-kristen atau budaya sekuler, dan apabila muslim dapat
menjadi warga negara Prancis yang sejati dan loyal. Penasehat menteri dalam
negeri tentang imigrasi mengingatkan, “Sekarang ini, memang benar-benar
terdapat ancaman Islam di Prancis itu adalah bagian dari gelombang besar
fundamentalisme muslim dunia.
Di tengah-tengah perdebatan Prancis terhadap suatu
kecenderungan untuk melihat islam sebagai agama asing, menempatkannya sebagai
agama yang bertolak belakang dengan tradisi Yahudi-Kristen. Sementara banyak
orang menekankan proses asimilasi yang menyisakan hanya sedikit ruang untuk
pendekatan multikultural, sebagian yang lain berpendapat bahwa muslim harus
diizinkan untuk mengembangkan identitas muslim Prancis yang khas yang mencampur
antara nilai-nilai asli ke-Prancis-an, dengan akidah dan nilai-nilai islam.
Realita lain yang dikenal sebagai awal berkibarnya
bendera perang terhadap terorisme oleh AS, yaitu peristiwa 11 September yang
merontokkan Gedung WTC dan Pentagon merupakan tamparan berat buat AS. Maka,
agar tidak kehilangan muka di dunia internasional, rezim ini segera melancarkan
“aksi balasan” dengan menjadikan Afghanistan dan Irak sebagai sasarannya (maaf,
kambing hitamnya!).
Jika
benar “benturan peradaban” antara Barat dan Islam terjadi tentu aksi koboi AS
(dan Inggris) ke Afghanistan dan Irak disambut gembira oleh umat Kristiani.
Faktanya ribuan rakyat (entah Kristen atau bukan) di berbagai belahan dunia
Barat justru menggalang solidaritas sosial untuk menentang aksi keji dan biadab
ini. Begitu ketika WTC dan Pentagon diledakkan, ribuan umat islam turut
mengutuknya. Meskipun reaksi di beberapa negara Amerika Latin banyak yang tidak
simpati terhadap peristiwa 11 September itu. Sebab, selama berpuluh-puluh
tahun, rakyat di sana tidak pernah menikmati kemajuan sekalipun sumber daya
alam mereka yang sudah habis dikuras. China juga bersikap kurang lebih sama
dengan Amerika Latin ini. Pasalnya mereka justru menganggap adalah AS sendiri
yang bersikaphostile karena
surplus perdagangan bilateral memang berada di pihak China. Akhirnya China,
oleh AS, justru dianggap sebagai pesaing strategis ketimbang mitra strategis
dalam ekonomi.
D.
Peran
Idiologi Pancasila Untuk membentengi diri dari Radikalisme
Pancasila yang notabene merupakan
pegangan hidup Bangsah Indonesia kini mulai terkikis seiring pesatnya
perkembangan Teknologi dan kuatnya arus Informasi di Era Globalisasi saat ini.
Pemerintah juga sekarang ini
tengah sibuk terhadap masyarakat yang berpergian Ke Sirya terkait ISIS.
Padahahal seharusnya jika nilai-nilai Pancasila ini diserap baik oleh Bangsa
Indonesia maka tidak perlu takut terhadap faham-faham Radikalisme seperti ISIS,
sebab Pancasila mengandung nilai-nilai luhur yang bersifat fleksibel terhadap
perkembangan zaman namun tetap memiliki Cirikhas tersendiri.
Pancasila diera globalisasi merupakan
tantangan baru bangsa ini. Arus informasi yang semakin cepat sehingga
paham-paham dunia barat USA dan
Eropa sangat mudah diakses oleh masyarakat Indonesia. Liberalisme yang dianut
oleh dunia barat kini merambat ke tengah-tengah masyarakat Indonesia sebagai
dampak negative globalisasi.
Idiologi Pancasila sebenarnya dapat
menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman, hanya saja nilai-nilai yang
terkandung didalamnya tidak terjiwai oleh masyarakat Indonesia itu sendiri.
Sehingga Paham Riberalis dan Radikalis bisa dengan mudahnya menembus pemikiran
bangsa ini. Banyak yang berpandangan bahwa Pancasila identik dengan Orde baru
(Orba), maka setelah runtuhnya Orba nilai luhur Pancasila juga ikut runtuh.
Padahal Pancasila sebagai idiologi
bangsa ini sangatlah penting difahami dan dijiwai. Sebab nilai-nilai yang
secara tersirat maupun tersurat memiliki tujuan yang mulia dan dapat membawa
bangsa ini kedalam peradaban yang baik. Ketika kita mampu menjiwai Pancasila,
tidak perlu takut dengan faham radikal dan riberal yang meracuni pemikiran
kita. Sebab Pancasila telah merumuskan nilainya sendiri mengenai “MAU DIBAWA
KEMANA BANGSA INI KEDEPANNYA”.
Saat ini MPR tengah sibuk
mensosialisasikan 4 Pilar Berkehidupan Berbangsa dan Bernegara yang mana
terdiri dari Pancasila, UU 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Ini memang
harus ditanamkan sejak dini kepada anak cucu bangsa ini kedepannya. Dan ini
bukan hanya menjadi tugas MPR, tetapi tugas kita bersama selaku warga Negara
yang baik dan menjujung tinggi Idiologi Pancasila.
E. Membentengi
Pemuda dari Radikalisme
Tak bisa dimungkiri, pemuda
adalah aset bangsa yang sangat berharga. Masa depan negeri ini bertumpu pada
kualitas mereka. Namun ironisnya, kini tak sedikit kaum muda yang justru
menjadi pelaku terorisme. Serangkaian aksiterorisme mulai dari Bom Bali-1, Bom
Gereja Kepunton, bom di JW Marriot dan Hotel Ritz-Carlton,hingga aksi
penembakan Pos Polisi Singosaren di Solo dan Bom di Beji dan Tambora,
melibatkan pemuda. Sebut saja, Dani Dwi Permana, salah satu pelaku Bom di JW
Marriot dan Hotel Ritz-Carlton, yang saat itu berusia 18 tahun dan baru lulus
SMA.
Fakta di atas diperkuat oleh
riset yang dilakukan Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP). Dalam
risetnya tentang radikalisme di kalangan siswa dan guru Pendidikan Agama Islam
(PAI) di Jabodetabek, pada Oktober 2010-Januari 2011, LaKIP menemukan
sedikitnya 48,9 persen siswa menyatakan bersedia terlibat dalam aksi kekerasan
terkait dengan agama dan moral. Bahkan yang mengejutkan, belasan siswa
menyetujui aksi ekstrem bom bunuh diri tersebut.
Rentannya pemuda terhadap aksi
kekerasan dan terorisme patut menjadi keprihatinan kita bersama. Banyak faktor
yang menyebabkan para pemuda terseret ke dalam tindakan terorisme, mulai dari
kemiskinan, kurangnya pendidikan agama yang damai, gencarnya infiltrasi
kelompok radikal, lemahnya semangat kebangsaan, kurangnya pendidikan
kewarganegaraan, kurangnya keteladanan, dan tergerusnya nilai kearifan lokal
oleh arus modernitas negatif. Apapun faktor yang melatari, adalah tugas kita
bersama untuk membentengi mereka dari radikalisme dan terorisme. Untuk
membentengi para pemuda dan masyarakat umum dari radikalisme dan terorisme,
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), menggunakan upaya pencegahan
melalui kontra-radikalisasi (penangkalan ideologi). Hal ini dilakukan dengan
membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di daerah, Pelatihan
anti radikal-terorisme bagi ormas, Training of Trainer (ToT)
bagi sivitas akademika perguruan tinggi, serta sosialiasi kontra radikal
terorisme siswa SMA di empat provinsi.
Di atas upaya-upaya kongkrit di
atas, sejatinya ada beberapa hal yang patut dikedepankan dalam pencegahan
terorisme di kalangan pemuda.
·
Pertama, memperkuat pendidikan kewarganegaraan
(civic education)
dengan menanamkan pemahaman yang mendalam terhadap empat pilar kebangsaan,
yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Melalui pendidikan
kewarganegaraan, para pemuda didorong untuk menjunjung tinggi dan menginternalisasikan
nilai-nilai luhur yang sejalan dengan kearifan lokal seperti toleransi antar-
umat beragama, kebebasan yang bertanggungjawab, gotong royong, kejujuran, dan
cinta tanah air sertakepedulian antar-warga masyarakat.
·
Kedua, mengarahkan para pemuda pada
beragam aktivitas yang berkualitas baik di bidang akademis, sosial, keagamaan,
seni, budaya, maupun olahraga. Kegiatan-kegiatan positif ini akan memacu mereka
menjadi pemuda yang berprestasi dan aktif berorganisasi di lingkungannya
sehingga dapat mengantisipasi pemuda dari pengaruh ideologi radikal terorisme.
·
Ketiga, memberikan pemahaman agama
yang damai dan toleran, sehingga pemuda tidak mudah terjebak pada arus ajaran
radikalisme. Dalam hal ini, peran guru agama di lingkungan sekolah dan para pemuka
agama di masyarakat sangat penting. Pesan-pesan damai dari ajaran agama perlu
dikedepankan dalam pelajaran maupun ceramah-ceramah keagamaan.
·
Keempat, memberikan keteladanan kepada
pemuda. Sebab, tanpa adanya keteladanan dari para penyelenggara negara, tokoh
agama, serta tokoh masyarakat, maka upaya yang dilakukan akan sia-sia. Para
tokoh masyarakat harus dapat menjadirole
model yang bisa
diikuti dan diteladani oleh para pemuda.
Berbagai upaya dan pemikiran di
atas penting dan mendesak untuk dilakukan. Kita tidak bisa hanya mengandalkan
penegakan hukum terhadap para pelaku terorisme semata. Tapi, kita patut
bersyukur, upaya-upaya tersebut telah dan sedang dilakukan, baik pemerintah
maupun masyarakat sipil seperi tokoh agama, akademisi, pemuda, organisasi masyarakat,
serta media massa.
BAB
IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Intitusi pendidikan pada dasarnya merupakan tempat untuk
memanusiakan manusia. Artinya bahwa ada upaya-upaya nyata, sadar dan sistematis
yang dilakukan secara terus menerus untuk merubah pola pikir dan pola sikap
seseorang yang sebelumnya tidak baik bahkan jahat menjadi baik, lebih baik dan
sangat baik. konsep dasar pendidikan inilah yang seharusnya menjadi acuan dan
pedoman nyata bagi para pendidik dalam rangka memanusiakan manusia. Kekerasan demi
kekerasan apabila terus berlanjut maka akan mematikan kreatifitas dan semangat
belajar peserta didik. Intitusi pendidikan yang diharapkan dapat menjadi media
bagi pengembangan ajang transfer dan transformasi budaya kekerasan dan budaya
menghukum yang sangat bertentangan dengan nilai-nilai dan konsep dasar
pendidikan.
Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya preventif yang tepat saat ini adalah dengan merevitalisasi pendidikan agama dan akhlak disekolah, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan dan pelajaran agama yang dijalankan saat ini hanya bersifat formalitas, materi dan tidak mendorong pembentukan moral dan karakter siswa. Selain itu alokasi jam pelajaran agama dan akhlak ditingkatkan dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, materi pelajaran non-agama atau umum seharusnya juga diarahkan pada penguatan akhlak dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari esensi pendidikan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Karena Radikalisme tidak sesuai degan ajaran Islam sehingga tidak patut untuk ditujukan dalam agama Islam karena sesungguhnya dalam Islam tidak ada yang namanya radikalisme.
Fenomena meningkatnya tindakan radikalisme dikarenakan dangkalnya pemahaman terhadap agama. Karena itu, upaya preventif yang tepat saat ini adalah dengan merevitalisasi pendidikan agama dan akhlak disekolah, keluarga, maupun masyarakat. Pendidikan dan pelajaran agama yang dijalankan saat ini hanya bersifat formalitas, materi dan tidak mendorong pembentukan moral dan karakter siswa. Selain itu alokasi jam pelajaran agama dan akhlak ditingkatkan dari sisi kuantitas dan kualitasnya. Selain itu, materi pelajaran non-agama atau umum seharusnya juga diarahkan pada penguatan akhlak dan karakter siswa sehingga tidak terlepas dari esensi pendidikan sebagaimana diamanahkan oleh UUD 1945 dan UU No 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas. Karena Radikalisme tidak sesuai degan ajaran Islam sehingga tidak patut untuk ditujukan dalam agama Islam karena sesungguhnya dalam Islam tidak ada yang namanya radikalisme.
Dalam Al Qur’an dan Hadits sendiri
memerintahkan umatnya untuk saling menghormati dan menyayangi serta bersikap
lemah lembut kepada orang lain meskipun orang itu penganut agama lain.
B. Saran
Pembuatan makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan, karena
keterbatasan sumber yang kami peroleh. Sehingga isi dari makalah ini masih
bersifat umum, oleh karena itu kami harapkan agar pembaca bisa mecari sumber
yang lain guna membandingkan dengan pembahasan yang kami buat, guna mengoreksi
bila terjadi kelasahan dalam pembuatan makalah ini.
DAFTAR PUSTAKA
makalahnya sangat bagus dan memberi pengetahuan pada yang maksih atas makalahnya.,.
ReplyDeleteterimakasih atas informasinya..
ReplyDeleteHello, nice blog
ReplyDeleteThank you for sharing tthis
ReplyDelete